Print this page

Sejarah

Selama pemerintahan Orde Baru paradigma utama pembangunan di Indonesia  berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi dengan asumsi bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi akan berpengaruh kepada perkembangan dimensi-dimensi sosial budaya dalam kehidupan masyarakat. Paradigma pembangunan ini terbukti kurang tepat, karena faktanya, pembangunan berbasis paradigma tersebut dan penerapan kebijakannya tidak sejalan dengan peningkatan kapabilitas sosial, sehingga membuat masyarakat rapuh secara moral, mentalitas dan harga diri dalam ikut membangun bangsa. Secara umum, konstruksi budaya masyarakat menjadi semakin rentan terhadap penghilangan jati diri sejalan dengan intervensi nilai ekonomi yang  materialistis dalam kehidupan masyarakat.

Dimensi-dimensi kemanusiaan dan sosial dari kehidupan masyarakat yang terabaikan selama pemerintahan Orde Baru memperburuk kondisi ekonomi dan menyebabkan krisis ekonomi, yang berefek domino kepada krisis sosial dan politik yang berkepanjangan. Konflik-konflik sosial, agama dan suku muncul berkepanjangan dan partisipasi masyarakat untuk mengurus dirinya sendiri mencapai titik yang terendah. Kondisi yang agak memperburuk situasi adalah pengembangan pranata-pranata sosial yang mampu memperkuat jati diri dan orientasi nilai yang baik bagi bangsa juga tidak berjalan seperti yang diharapkan. Akibatnya masyarakat Indonesia belum dapat bangkit dari keterpurukan sosial dan moral. Domain politik bangsa agaknya juga memainkan peran dalam mempercepat keterpurukan dimensi sosial budaya.

Pelaksanaan otonomi daerah yang dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1999, telah menimbulkan berbagai implikasi pembangunan di daerah maupun nasional. Banyak aktivitas pembangunan ekonomi, sosial budaya mulai dari perencanaan sampai monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh agen-agen pembangunan daerah maupun nasional berada dalam semangat desentralisasi. Akibatnya agen-agen pembangunan baik nasional, provinsi maupun kabupaten/kota harus mampu melakukan terobosan-terobosan dalam menjalankan pembangunan di daerah masing-masing. Kondisi ini menuntut perkembangan baik secara kuantitas maupun kualitas dari para tenaga professional untuk dapat menjalankan desentralisasi pembangunan secara prima. Sampai saat ini berbagai kalangan masih risau mengenai langkanya SDM yang memiliki kapabilitas dan kompetensi menghadapi perubahan praktik pembangunan tersebut. Kelangkaan ini terutama cukup serius terjadi dalam sektor pembangunan yang berbasis kearifan dan nilai-nilai budaya lokal, karena sedikitnya ketersediaan tenaga profesional dalam bidang ini, dan karena belum tersedianya lembaga yang mencetak keahlian tersebut.

Berangkat dari pemikiran di atas, maka Antropologi sebagai ilmu yang memfokuskan kajian dan pemikirannya tentang persoalan sosial-budaya, mencoba memberikan kontribusi terhadap persoalan tersebut. Hal ini disebabkan karena Antropologi adalah ilmu yang secara sistematis mempelajari kebiasaan-kebiasaan (kebudayaan) yang melatar belakangi berbagai aktivitas manusia, baik dalam bertindak, berpikir maupun menciptakan sesuatu. Kebiasaan-kebiasaan (kebudayaan) manusia ini bisa dikaji dari berbagai aspek, baik dari aspek paleotologis/arkeologis, biologi (fisik), aspek perilaku, bahasa (linguistik), nilai-nilai dan simbolik. Ini membuat Antropologi menjadi ilmu yang sangat penting dalam mengkaji dan memahami berbagai persoalan manusia tidak hanya yang terjadi sejak masa lalu, masa sekarang tetapi juga masa yang akan datang.

Sebagai kajian tentang kebiasaan-kebiasaan (kebudayaan) manusia, maka berbagai persoalan dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya menjadi sorotan dan perhatian Antropologi, baik persoalan ekonomi, hukum, politik, kesehatan, pendidikan, ekologi (lingkungan), birokrasi, dan lain-lain. Dalam konteks pembangunan, Antropologi tidak saja penting dalam memahami peran dan partisipasi manusia (dan masyarakat) dalam pembangunan itu sendiri, tetapi juga penting dalam memahami kebiasaan manusia sebagai agen perubahan. Antropologi juga memiliki kontribusi besar untuk memecahkan persoalan yang muncul sebagai akibat dari pembangunan tersebut. Apalagi dewasa ini perkembangan akibat globalisasi, ekonomi, teknologi komunikasi, dan gaya hidup perkotaan membuat kehidupan masyarakat semakin kompleks. Kondisi ini tentu saja akan mengancam kesinambungan kehidupan apabila tidak dikelola dan disikapi dengan cermat dan objektif. Akan tetapi, peran yang seharusnya dimainkan oleh para antropolog ini (baik peran akademis maupun praktis), belum begitu menguat dalam pembangunan bangsa, karena sumber daya manusia yang ada belum memadai secara kuantitas.

Berangkat dari pemikiran diatas, ilmu antropologi melalui para pemangku ilmu ini (para antropolog) merasa perlu lebih menekankan perhatian kepada upaya memasukkan gagasan dan memainkan peranan penting untuk menerapkan pendekatan kebudayaan dalam pembangunan guna menyikapi perkembangan tersebut di atas. Argumen tentang itu adalah bahwa kebudayaan dari kacamata antropologi merupakan intisari pembentuk perkembangan dan sumber dinamika masyarakat. Hampir semua perwujudan perilaku individu dan masyarakat (sadar atau tidak sadar) berpijak dari kebudayaan yang mereka miliki. Apabila dikaitkan dengan pembangunan, maka hampir  tidak ada proses pembangunan yang tidak dipengaruhi oleh kebudayaan. Dalam ilmu antropologi, kondisi ini dikenal dengan istilah culturally sustainable development (Clark dalam Cohen dan Danhaeuser, 2002). Dengan demikian, perencanaan dan implementasi pembangunan mestinya tidak bisa dilepaskan dari elemen sosial budaya.

Fakta menunjukkan bahwa pembangunan dewasa ini masih dikuasai oleh mainstream perspektif ekonomi dan teknokrasi. Pembangunan nasional sangat diukur dari indikator GNP dari tahun ke tahun. Sementara mainstreaming lain, tidak menjadi perhatian serius, seperti sosial budaya. Hal ini terbukti bahwa pembangunan negara lebih banyak menjadi praktek paradigma politik ekonomi, daripada upaya mempertahankan dan mengembangkan kearifan dan nilai-nilai budaya lokal yang mampu menopang keberhasilan pembangunan tersebut pada umumnya. Asumsi ini menuntut adanya pelaku akademik maupun praktisi yang tugasnya mampu menghubungkan secara terukur antara pembangunan dalam pengertian umum, dan pembangunan berbasis kearifan dan nilai-nilai budaya lokal dalam artian khusus. Oleh sebab itu, dari segi organisasi, dibutuhkan suatu lembaga yang mempunyai kemampuan untuk menganalisis masalah-masalah sosial-budaya tersebut, serta mencari upaya pemecahannya.

Dalam konteks ini Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Andalas melalui jurusan Antropologi dapat menjadi salah satu lembaga yang handal dan berkontribusi terhadap pembangunan, terutama pembangunan bidang sosial-budaya. Salah satu cara untuk mewujudkan kontribusi program studi Antropologi adalah dengan membuka program studi strata 2 (S2) bidang Antropologi, untuk  meningkatkan kualifikasi pendidikan formal, untuk kalangan birokrat, anggota dewan perwakilan rakyat daerah, aktivis pembangunan, masyarakat umum dan para guru SLTA ke jenjang yang lebih tinggi, dari tingkat S1, ke pendidikan ilmu Antropologi strata S2, dan bahkan dimasa depan strata S3.

Melalui program magister Antropologi, para lulusan akan dapat memiliki kompetensi keahlian dalam membaca dan memahami berbagai persoalan sosial-budaya yang mendasari pembangunan itu sendiri. Oleh sebab itu, para lulusan ini nantinya akan berperan sebagai tenaga ahli (development experts) dalam perencanaan, koordinasi, fasilitasi, monitoring/evaluasi, penelitian dan pengajaran pembangunan khususnya di bidang pembangunan berbasis kearifan dan nilai-nilai budaya lokal. Mereka juga diharapkan dapat mengembangkan diri menjadi aktor dalam mencari solusi dari berbagai persoalan sosial dan budaya yang ada pada bangsa Indonesia. Disamping itu, pengembangan kapasitas lembaga akademik dari jenjang S1 ke jenjang S2 dan S3  merupakan kebutuhan internal lembaga akademik seperti prodi Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Andalas untuk meningkatkan kontribusinya terhadap pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Berdasarkan pokok pikiran di atas, Universitas Andalas merasa perlu untuk menyelenggarakan pendidikan Program Magister (S2) Antropologi yang memfokuskan pada kajian pembangunan masyarakat berbasis kearifan dan nilai-nilai budaya lokal. Program ini nanti akan menjadi program kelimuan monodisiplin dan akan menjadi bagian kegiatan akademik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Diharapkan dengan diselenggarakannya Program Magister Antropologi ini akan diwujudkan peningkatan kemampuan akademik, keahlian dan wawasan Antropologi bagi orang-orang yang pekerjaan dan profesinya berkaitan dengan perencanaan, koordinasi, fasilitasi,  monitoring/evaluasi, penelitian dan pengajaran pembangunan dalam dimensi sosial budaya yang berada di kawasan Pulau Sumatera khususnya dan Indonesia umumnya.

Program Magister Antropologi ini diusulkan oleh Program Studi (Prodi) S1 Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas (Unand). Berdasarkan Surat Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi No. 020/BAN-PT/Ak-IX/S1/2005, tanggal 27 Oktober 2005, Prodi Antropologi S1 mendapatkan nilai akreditasi A. Ketika masa berlaku habis, maka pada tahun 2012, Prodi melakukan re-akreditasi dan tetap mendapat nilai akreditasi A, dengan nomor: 049/BAN-PT/Ak-XIV/S1/I/2012 yang berlaku sampai dengan 13 Januari 2017 (masa berlaku selama 5 tahun). Pada bulan Maret 2017, re-akreditasi prodi kembali dilaksanakan, dengan raihan nilai akreditasi B, berdasarkan Surat Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi nomor: 1575/SK/BAN-PT/Akred/S/V/2017 yang berlaku mulai 23 Mei 2017 hingga 23 Mei 2022.

Program Magister Antropologi FISIP Universitas Andalas didirikan sejak tahun 2014, dengan No Surat : No.160/E/0/2014, tanggal 10 Juni 2014. Adapun tujuan didirikannya Program Magister Antropologi ini adalah:

  1. Mendidik para mahasiswa Pascasarjana Ilmu Antropologi yang memiliki ketajaman analisis teoritis dan metodologis dalam mengurai dan mengkoseptualisasi serta memberikan jawaban terhadap penyelesaian masalah pembangunan masyarakat berbasis kearifan dan nilai-nilai budaya lokal.
  2. Menumbuhkembangkan daya nalar ilmiah mahasiswa pascasarjana antropologi melalui kemandirian belajar dan bekerjasama dalam memecahkan berbagai persoalan pembangunan masyarakat dan kebudayaan.
  3. Menghasilkan lembaga penyelenggara pascasarjana yang integratif melalui kerjasama yang profesional dengan berbagai stakeholder

Pendirian Program Magister Antropologi ini, didasari oleh semangat civitas akademika di lingkungan FISIP Universitas Andalas, untuk memberikan kontribusi yang berarti dalam pembangunan nasional, terutama dalam bidang sosial-budaya. Berangkat dari pemikiran ini, Program Magister Antropologi diharapkan mampu memainkan peranan penting untuk menerapkan pendekatan kebudayaan dalam pembangunan guna menyikapi perkembangan yang terjadi.

  

+ d’info sur le sur les injections de prp dans les troubles de pharmacie en ligne levitra l’érection? Dubitatifs, des chercheurs américains ont fait passer acheter cialis pas cher un irm à la sexologue pendant ses orgasmes solitaires et quasi immobiles et vente levitra ont conclu à l’authenticité de l’orgasme. Les traitements levitra prix en ligne hormonaux ne sont recommandés qu’en cas d’insuffisance hormonale avérée.